
Kalau Anda mencari informasi tentang autis, di sini adalah tempat yang tepat. Tanpa menunggu lama, cek artikel ini sekarang, yuk!
Jika Anda dianugerahi putra atau putri dengan gangguan autis, tentunya Anda harus mencari segala informasi tentang penyakit ini. Di artikel ini ada berbagai informasi tentang autis yang bisa berguna bagi Anda.
Pada dasarnya, seorang anak yang mengidap autisme akan memiliki gangguan dalam berinteraksi sosial, berkomunikasi, berimajinasi, serta pola perilaku yang repetitif. Gangguan tersebut terkadang membuat orang lain melihat putra atau putri Anda dengan pandangan aneh dan berbeda.
Tak jarang, akhirnya si kecil jadi dikucilkan dan diremehkan oleh orang-orang di sekitarnya. Sebagai orangtua, Anda tentu tidak menginginkan hal tersebut terjadi pada buah hati tercinta.
Untuk mengatasinya, Anda perlu mengetahui dan memahami lebih lanjut segala informasi tentang gangguan ini. Tanpa menunggu lama, cek artikel di bawah ini, yuk!
Apa Itu Autisme?
Autis merupakan salah satu gangguan spektrum autisme (Autism Spectrum Disorder/ASD) yang menjadikan seseorang mengalami kesulitan berpikir, berbahasa, berperilaku, dan bersosialisasi. Meskipun autis bisa didiagnosa pada usia berapa pun, tapi tetap saja disebut sebagai “gangguan perkembangan” karena gejala umumnya mulai muncul sejak dua tahun pertama dalam kehidupan seseorang.
Gejala dan tingkat keparahan gangguan autis ini bisa berbeda-beda pada setiap penderitanya. Sehingga akhirnya dibedakan menjadi beberapa jenis gangguan lain yang termasuk dalam ASD, seperti sindrom asperger, gangguan perkembangan pervasif (PDD-NOS), dan sindrom heller.
Seorang anak yang mengidap autis akan mengalami kesulitan untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Hal ini membuat mereka kesulitan untuk mengekpresikan diri dengan kata-kata, gerak tubuh, ekspresi wajah, dan sentuhan. Selain itu, mereka juga cenderung sangat sensitif terhadap suara, sentuhan, bau, dan pemandangan yang tampak normal bagi orang lain.
Menurut the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), sebuah panduan yang dibuat oleh American Psychiatric Association dan digunakan untuk mendiagnosis gangguan mental, ada beberapa tanda seseorang memiliki gangguan autisme, yaitu:
- Kesulitan berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
- Terbatasnya ketertarikan dan perilaku yang berulang-ulang.
- Kesulitan berfungsi dengan baik di sekolah, tempat kerja, atau area kehidupan lainnya.
Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), secara umum jumlah penderita autisme di dunia sebanyak 1,7%. Ini artinya, setidaknya 1 dari 59 anak yang ada di dunia menderita autisme.
Baca juga: Bagaimana Cara Mengatasi Anak Nakal Agar Menjadi Patuh?
Sejarah Singkat Autisme
Secara bahasa, autisme berasal dari kata autos dalam bahasa Yunani yang berarti diri. Kata ini digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana seseorang menghapus interaksi sosialnya, atau dengan kata lain menjadi “seseorang yang terisolasi.”
Eugen Bleuler, seorang psikiater Swiss, adalah orang pertama yang menggunakan istilah autis pada tahun 1911 untuk merujuk pada sebuah gejala yang berhubungan dengan skizofrenia. Baru pada tahun 1940-an, para peneliti di Amerika Serikat mulai menggunakan istilah autisme untuk menggambarkan anak-anak dengan masalah emosional atau sosial.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Hans Asperger, seorang ilmuwan berkebangsaan Austria, mengidentifikasi orang-orang dengan perilaku serupa namun tidak sepenuhnya sama. Dari identifikasi tersebut, ditemukan suatu kondisi yang memiliki tiga perbedaan dengan autisme, yaitu kecerdasan, cara berkomunikasi, dan cara berbicara. Kondisi tersebut akhirnya dikenal sebagai sindrom asperger.
Sampai tahun 1960-an, autis dan skizofrenia masih dianggap sebagai jenis penyakit yang sama. Hingga beberapa peneliti mulai menemukan ada perbedaan jenis gangguan yang membuat kedua penyakit tersebut mulai dibedakan cara pengobatannya.
Dari tahun 1960 hingga 1970-an, penelitian tentang perawatan untuk autisme berfokus pada obat-obatan seperti Asam lisergat dietilamida (Lysergic acid diethylamide/LSD), kejutan listrik, dan teknik perubahan perilaku yang keras. Cara-cara tersebut masih mengandalkan hukuman dan rasa sakit untuk pengobatan.
Baru mulai tahun 1980 hingga 1990-an, para ahli medis dan peneliti menggunakan terapi perilaku dan lingkungan terkendali sebagai pengobatan. Sejak tahun 2000-an, perawatan untuk anak autis pun lebih fokus pada terapi perilaku dan terapi bahasa yang ditambahkan dengan perawatan lain sesuai kebutuhan.
Baca juga: Sudah Tahukah Anda tentang Penyebab dan Cara Mengatasi Anak Susah Makan Berikut Ini?
Gejala dan Tanda-Tanda Autisme
Pada dasarnya, gejala dan tanda-tanda autis sudah bisa dilihat sejak usia si kecil masih dua tahun. Nantinya, gejala tersebut akan semakin berkembang seiring dengan pertumbuhannya dan semakin menunjukkan tanda-tanda jelas autisme.
Anak yang tidak menderita autisme juga dapat memiliki beberapa gejala ini. Namun, gejala ini tidak akan membuat kehidupan anak yang tidak menderita autis menjadi lebih sulit.
1. Keterampilan Sosial
Masalah keterampilan sosial adalah salah satu gejala yang paling umum terjadi pada penderita autis. Mereka tidak hanya memiliki kesulitan bersosialisasi yang diakibatkan rasa malu, tetapi hingga menyebabkan masalah serius dalam kehidupan sehari-harinya. Beberapa di antaranya adalah:
- Tidak menanggapi ketika namanya dipanggil meski sudah berusia 12 bulan.
- Menghindari kontak mata.
- Lebih suka bermain sendiri.
- Tidak suka berbagi kesukaan dengan orang lain.
- Hanya berinteraksi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
- Memiliki ekspresi wajah yang datar.
- Tidak memahami konsep personal space boundaries atau privasi.
- Menghindari atau menolak kontak fisik.
- Ketika merasa kesulitan, tidak merasa terhibur dengan bantuan orang lain.
- Memiliki kesulitan memahami perasaan orang lain atau membicarakan tentang perasaannya sendiri.
2. Berkomunikasi
Setiap anak yang menderita autis memiliki keterampilan berkomunikasi yang berbeda. Sebagian anak masih bisa berbicara dengan baik, sementara anak lain ada yang tidak dapat berbicara sama sekali.
Berdasarkan data dari National Autism Association, sekitar 40% anak penderita autis tidak berbicara sama sekali. Sebanyak 25-30% anak-anak penderita autis masih memiliki beberapa kosakata hingga usianya 18 bulan, tapi tidak mengalami perkembangan. Sementara sisanya, ada kemungkinan bisa berbicara, tapi jauh lebih terlambat dibanding teman sepantarannya.
Contoh masalah komunikasi yang terkait dengan autisme adalah:
- Keterampilan berbicara dan berbahasa yang tertunda.
- Mengulang-ulang kata atau frasa.
- Tidak memahami lelucon, sarkasme, atau gurauan.
- Terbalik ketika menggunakan kata ganti. Contohnya mengatakan “kamu” alih-alih “saya” saat menyebutkan dirinya sendiri, atau sebaliknya.
- Memberikan jawaban yang tidak berhubungan dengan pertanyaan.
- Tidak menanggapi orang yang berbicara padanya.
- Tidak bisa memahami gestur dan tidak suka menggunakannya.
- Berbicara dengan suara datar seperti robot.
- Tidak menyukai permainan yang berpura-pura, seperti memberi makan boneka.
3. Perilaku dan Minat yang Tidak Biasa
Banyak anak penderita autis memiliki minat dan perilaku yang tidak biasa. Pada dasarnya yang paling mudah terlihat adalah gerakan atau rutinitas yang selalu berulang. Bahkan, perubahan sekecil apa pun yang tidak sesuai keinginan bisa membuat mereka frustasi dan tantrum.
Selain itu, gerakan yang berulang itu berhubungan dengan salah satu bagian tubuh atau mainannya saja, tidak secara keseluruhan. Seperti mengibaskan lengannya atau menyalakan lalu mematikan lampu mainannya. Jenis kegiatan tersebut dikenal dengan stimulasi diri atau perangsangan.
Minat dan perilaku yang tidak biasa lainnya adalah:
- Membariskan mainan atau benda lainnya.
- Selalu bermain dengan mainannya dengan cara yang sama setiap saat.
- Hanya menyukai salah satu bagian mainannya, seperti roda mobil-mobilannya.
- Terlalu terorganisir.
- Mudah kesal dengan perubahan sekecil apa pun.
- Memiliki minat yang terlalu obsesif.
- Harus selalu mengikuti rutinitas tertentu yang ia buat sendiri.
- Suka mengibaskan tangannya, menggerakkan tubuhnya maju mundur, atau berputar-putar dalam lingkaran.
4. Gejala Lainnya
Selain tiga gejala di atas, ada juga beberapa gejala lain yang tidak bisa dimasukkan dalam ketiga kategori tersebut. Contoh dari gejalanya adalah:
- Hiperaktif.
- Impulsif dalam bertindak tanpa berpikir.
- Rentang perhatiannya pendek.
- Agresif.
- Mudah marah dan tantrum.
- Kebiasaan makan dan tidur yang tidak biasa. Terlalu memilih makanan, bahkan dengan keras kepala bisa menolak memakan jenis makanan tertentu.
- Reaksi emosional atau suasana hati yang tidak biasa.
- Tidak memiliki ketakutan sama sekali atau sebaliknya, memiliki ketakutan yang terlalu banyak melebihi rekan seusianya.
- Reaksi yang tidak biasa pada suara, bau, rasa, pandangan, atau perasaan.
Baca juga: Penyebab Bayi Susah Tidur Malam dan Cara Mengatasinya
Diagnosis Awal Autisme
Tidak mudah memang mendiagnosis autisme pada anak-anak yang masih terus berkembang. Karena tes yang dilakukan untuk mendeteksi penyakit ini tidak menggunakan tes medis seperti darah. Tes yang dilakukan adalah dengan cara melihat perilaku dan perkembangan si kecil.
Namun, diagnosis dini sangat diperlukan karena bisa membantu orangtua dalam memahami kebutuhan si kecil. Lebih jauh lagi, bisa juga memberikan dukungan dan perawatan yang tepat. Berikut ini langkah-langkah yang diperlukan hingga ditegakkannya diagnosis autisme pada si kecil:
1. Konsultasi Dokter
Hal pertama yang perlu dilakukan orangtua ketika menduga terdapat gejala-gejala autisme pada si kecil adalah berkonsultasi dengan dokter anak. Namun, pastikan dokter yang Anda pilih itu sudah berpengalaman dengan anak-anak autis.
Sebelum berkonsultasi, ingatlah untuk mencatat perilaku buah hati yang membuat Anda berpikir kalau anak Anda mengidap gangguan autisme. Kemudian bawalah catatan tersebut ketika berkonsultasi.
2. Pemeriksaan
Setelah berkonsultasi, dokter biasanya akan menyarankan Anda untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya, yaitu pemeriksaan atau screening. Kalau buah hati masih belum bersekolah, biasanya dokter akan menjalankan M-CHAT (Modified Checklist for Autism in Toddlers). Daftar centang tersebut merupakan kuesioner psikologis yang digunakan untuk mengevaluasi risiko gangguan spektrum autisme pada anak berusia 16-30 bulan.
Menggunakan daftar tersebut, dokter akan mencoba untuk mengajukan beberapa pertanyaan, berbicara, dan bermain bersama si kecil untuk melihat reaksinya. Dari hasil tersebut akan terlihat apakah buah hati Anda memang menderita autisme atau tidak.
Namun, Ayah dan Bunda harus tahu bahwa pemeriksaan ini tidak bisa dilakukan kapan saja. Pemeriksaan ini hanya bisa dilakukan ketika si kecil berusia 9, 18, 24, atau 30 bulan. Jika dalam proses pemeriksaan ini dokter melihat adanya tanda-tanda autisme pada anak Anda, barulah berlanjut ke langkah selanjutnya.
3. Penilaian
Pada tahap penilaian atau assessment ini, para spesialis baik itu dokter perkembangan anak, ahli saraf anak, psikolog, atau psikiater anak akan mengajukan beberapa pertanyaan pada Anda. Biasanya terkait dengan kesehatan dan perilaku sehari-hari buah hati.
Setelahnya, dokter juga akan memberikan pemeriksaan lanjutan pada pendengaran dan penglihatan, melakukan tes neurologis, tes genetik, dan tes lainnya jika perlu. Bahkan pada beberapa kasus, orangtua dan putra atau putrinya akan diminta untuk mengikuti beberapa rangkaian pertemuan dan wawancara untuk memantau perkembangan si kecil. Setelah itu, barulah spesialis bisa menentukan diagnosis autisme.
Baca juga: Mengenal Pendidikan Karakter untuk Buah Hati Tercinta
Cara Menangani Anak dengan Gangguan Autisme
Setelah berkonsultasi dengan dokter dan si kecil didiagnosis autis, Ayah dan Bunda tidak perlu panik. Karena jika si kecil didiagnosis sejak dini dan autisnya tergolong ringan, masih ada cara-cara untuk menanganinya. Di antaranya adalah:
1. Terapi Perilaku
Hal mendasar yang bisa dilakukan untuk buah hati yang sudah didiagnosis autisme adalah dengan mengikuti terapi perilaku. Terapi ini meliputi terapi kognitif di mana buah hati akan diajarkan bagaimana caranya berkomunikasi dan bersikap yang lebih baik.
Biasanya, terapi ini diberikan pada anak-anak yang belum patuh. Hal ini disebabkan program dasar dari terapi perilaku adalah melatih kepatuhan. Setelahnya, ketika buah hati mulai patuh, barulah bisa dilanjutkan dengan terapi lain.
Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan kemampuan si kecil dalam berkomunikasi supaya lebih berkembang. Terapi ini biasanya akan dilakukan oleh spesialis, tapi tidak menutup kemungkinan Anda juga menerapkan terapi di rumah sesuai dengan anjuran dokter/psikolog.
2. Terapi Keluarga
Menangani anak dengan gangguan autis memang bukanlah perkara yang mudah, khususnya bagi orangtua. Tak jarang orangtua dan anggota keluarga yang lain akan mengalami stres dengan naik turunnya perangai si kecil. Apalagi penanganannya bukanlah dalam jangka pendek, melainkan jangka panjang.
Sehingga orangtua, saudara, dan orang-orang terdekat si kecil juga harus menjalani terapi untuk mempelajari bagaimana cara berkomunikasi dan menangani penderita autisme. Karena bagaimanapun, anak penderita autis tidaklah sama dengan rekan seusianya.
Penting bagi orang dewasa untuk mempelajari cara berinteraksi dengan anak autis agar bisa berkomunikasi secara efektif. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi orangtua dan orang-orang di sekitar si kecil, tapi juga berguna bagi si anak.
Baca juga: Cerita Dongeng Anak Sebelum Tidur Pilihan untuk Buah Hati Tercinta
3. Menjaga Pola Makan
Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah pola makan si anak penderita gangguan spektrum autisme. Selain karena anak dengan gangguan spektrum ini biasanya menjadi lebih pemilih tentang makanannya, tapi juga karena beberapa jenis makanan bisa mempengaruhi perkembangan autisme. Sehingga beberapa dokter dan spesialis biasanya akan menyarankan agar si kecil diberikan diet makanan tertentu.
Salah satu diet yang disarankan adalah menghindari makanan yang mengandung protein gluten atau kasein, atau juga disebut disebut diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Gluten banyak ditemukan dalam produk gandum, sementara kasein ditemukan dalam produk susu. Kedua jenis protein tersebut dihindari karena tidak bisa dicerna dengan baik oleh saluran pencernaan anak autis.
Namun perlu diingat, sebelum Anda memutuskan untuk membatasi makan si kecil, Anda perlu berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter atau ahli gizi. Karena pola makan yang salah bisa mengakibatkan si kecil kekurangan nutrisi penting.
4. Memantau Kondisi Perkembangan
Selain menjaga pola makan dan memberikan terapi, sebagai orangtua Anda juga harus rutin memeriksakan buah hati ke dokter. Tujuannya tentu saja untuk memantau kondisi dan perkembangannya.
Dokter juga bisa memberikan arahan tentang penanganan yang perlu dilakukan jika kondisi si kecil sudah ada perubahan. Termasuk juga jika si kecil membutuhkan tambahan obat dan vitamin.
Baca juga: Ciri-Ciri Anak Broken Home dan Dampaknya
Memiliki Anak dengan Gangguan Autis Bukanlah Akhir Dunia
Memiliki anak dengan gangguan autis memang bisa membuat orangtua merasa lelah, stres, dan sedih. Namun, tidak berarti hal ini adalah akhir dunia. Karena bagaimanapun, ia tetap adalah buah hati tercinta dan darah daging Anda.
Apalagi jika penanganannya tepat bisa memberikan dampak baik bagi perkembangan si kecil. Diharapkan, kemampuan bersosialisasi dan berkomunikasinya bisa meningkat. Jadi, terus semangat, ya, Ayah dan Bunda!